MENGUNGKAP KETURUNAN RAJA PAJAJARAN AKHIR BERIKUT BARANG-BARANG PENINGGALANYA
Setelah kerajaan Pajajaran “burak”akibat di serbu oleh ”pasukan gabungan” Banten dan Cirebon pada tanggal 15 mei 1579 masehi. Rajanya yang bernama Prabu Haris Maung atau Prabu Nusicamulya (atau yang mempunyai gelar “Sakawayana”) tidak terkabarkan lagi membangun pemerintahanya (Pajajaran) kecuali sebelum ia melakukan “tirakat” di puncak Gunung Halimun (hingga akhir hayatnya) Prabu Haris Maung berpesan kepada putranya agar mengabdi ke Negara Sumedang Larang.
Adapun putra Prabu Haris Maung (memerintah di Pajajaran pada tahun1567-1579 M) yang di maksud tiada lain adalah Raden Aji Mantri alias Raden Keling Sakawayana, murid tersayang “Sang Aduwarsa” yang memimpin sebuah keagamaan peguruan keagamaan di Cinangka (Cikampek).
Perlu diceritakan, dalam melaksanakan pesan atau amanat dari ayahnya itu, Bulan oktober 1579 Masehi Raden Aji Mantri berangkat menuju Sumedang Larang dengan di kawal oleh empat orang pengawal pribadinya (Embah Kapuk, Embah Pincang, Raden Raja Koras, Suryakancana wesah) dan 35 orang prajuritnya. Mereka tiba di Sumedanglarang pada bulan Januari 1580 Masehi dan selanjutnya mengabdi ke Negara tersebut.
Tidak lama setelah menikah dengan Nyai Mas Angkong Larangan (1583 M), Raden Aji Mantri beserta istri dan ke empat orang pengawalnya yang semula berdiam di lingkungan “Keraton Kutamaya” (Keraton Sumadang Larang) pindah dan menetap di sebuah tempat yang kini dikenal dengan nama “Dusun/Desa Serang” (berada di wilayah kecamatan Cimalaka Sumedang). Di tempat tersebut, dengan mendapat dukungan dari penguasa Sumedanglarang saat itu (Prabu Geusan Ulun,1579-1610 M), Raden Aji Mantri membangun sebuah Telaga (letaknya di belakang Bale Desa Serang yang sekarang) yang di kenal “Talaga Sakawayana”, Telaga yang di Sekelilingnya di tanami aneka pepohonan (diantaranya pohon kelapa yang di sebut “Kalapa Tujuh”) dan di tengah-tengahnya terdapat “mata air” yang di sebut “Leutak Si Balagadama” itu, fungsinya selain untuk memperingati para leluhurnya yang telah membangun “Talaga Maharena Wijaya (di Bogor),sebagai tempat rekreasi para pengagung dan warga masyarakat Sumedanglarang juga untuk mengairi tanah-tanah pertanian yang ada di sekitarnya.
Setelah membantu roda pemerintahan Prabu Geusan Ulun selama kurang lebih 30 tahun(1580-1610), Raden Aji Mantri (yang menurut cerita dipercaya selaku penasehat kerajaan Sumedanglarang) kemudian mendirikan sebuah perguruan keagamaan (letaknya tidak jauh dari Talaga Sakawayana) yang diberi nama ”Sumedang Kahiyangan. Di perguruan yang dipimpinya itu, Raden Aji Mantri mengajarkan sejumlah ilmu yang dianutnya (dikenal dengan sebutan “Elmu Sakawayana”) kepada murid-muridnya, baik murid yang datang dari wilayah Sumedanglarang maupun dari luar daerah, seperti Mataram (diantaranya Bapa Leutik yang menikah dengan salah seorang warga Serang).
Menginjak tahun 1660 Masehi, Raden Aji Mantri dipanggil oleh yang Maha Kuasa dalam usia yang sangat tua (105 tahun), jasadnya dimakamkan di sebuah “Gunung” (demikian disebutnya walau sebenarnya bukit) yang ada di Dusun Serang dan makamnya kini dikenal “Makam Keramat Gunung Keling “ atau “Makam Keramat Sakawayana”.
Dari hasil pernikahanya dengan Nyai Mas Angkong Larangan, Raden Aji Mantri meninggalkan 6 orang putra/putri , mereka adalah :
1. Santowan Kadang Serang, menikah dengan Apun Ayu Ajeng Jawista, berputra 3 orang laki-laki, yaitu: Tanduran Sawita (Kyai Perlaya), Kyai Singa Manggala (Embah Gede) dan Kyai Tanu Jiwa atau lebih dikenal “Ki Mas Tanu” (ia berputra Raden Mertakara yang berdomisili di Banten), menurut Raden Widjajakoesoemah, dalam tulisanya yang berjudul “Tjarita Nagara Padjadjaran”(1846 M), ketiga putra Santoan Kadang Serang itu, pada masa hidupnya pernah mengabdi kepada “Kumpeni” di Batavia, yaitu pada zaman Gubernur Jendral “Coen” (1627 M) dan sampai zaman Gubernur Jendral Speelman(1681 M). Mereka dipercaya memimpin 40 orang pekerja asal Sumedang untuk membangun tempat-tempat yang asalnya merupakan hutan belantara menjadi tempat pemukiman, seperti Kampung Bidara Cina, Kampung Bantarjati (Kampung Baru) dan sejumlah kampung yang berada di daerah Ci Pinang. Oleh karena pekerjaanya memuaskan, maka selanjutnya kompeni mengangkat ketiga kakak beradik itu sebagai ”Prajurit” serta masing-masing mendapat pangkat, yang sulung (Tanduran Sawita) ”Letnan” (dikenal dengan sebutan “Letnan Pengiring”), yang kedua Kyai Singa Manggala) ”Sersan” (disebut “Sersan Kerta Singa”) dan yang bontot (Kyai Tanu Jiwa) sama dengan yang sulung, mendapat pangkat “Letnan”. Pada tahun 1680 Masehi, Tanduran Sawita dengan kedua adiknya mendapat perintah dari Speelman untuk mencari pekerja ke Sumedang sebanyak 100 orang. Akan tetapi baru sampai ke hutan bekas pajajaran, yang telah memakan waktu sebulan lamanya, mereka mendapat musibah kekurangan makanan. Didekat mata air sungai “Ciluwer” yang ada di hutan tersebut, Tanduran Sawita menghilang dan tidak di ketemukan kembali (itu sebabnya dia dikenal Kyai Perlaya ) sehingga kedua adiknya memutuskan untuk kembali ke Batavia.
2. Santowan Sawana Buana, menikah dengan Apun Ayu Ajeng Wanisah, secara turun menurun berputra Tanduran Mataram, Berputra Kiriya Manggala Sakawayana, berputra Darma Manggala, berputra Antamanggala, berputra Wangsamanggala, berputra Akmal Sutamanggala. Selanjutnya Akmal Suta Manggala berputra 3 orang laki-laki, yaitu :
Pertama, Raden Dipa Wangsa (gugur ketika membantu Kyai Bagus Rangin bertempur melawan pasukan gabungan kompeni dan Cirebon dalam “Perang Bantarjati” dia berputra 4 orang yaitu : Wangsadinata (kepala Desa Serang pertama, memerintah tahun 1870-1885 M), Oneng, Haji Sa’id dan Engkung atau Ajib. Mereka melahirkan keturunan di Dusun Serang, dan salah seorang putra Engkung yang bernama “Enden Ningsih” menikah dengan Panggeran Aria Kusumah Adinata atau “Panggeran Sugih” (Bupati Sumedang tahun 1832-1889) berputra “NYai Raden Domas ”kemudian ia berputra Raden Aom Bajaji, raden Sule dan Nyai Raden Emek (melahiran keturunan di Bandung).
Kedua, Raden Sawita menikah dengan Sawijah (janda dari Mas Ngabehi Jiwaparana IV, asal Wado Sumedang) berputra “Jibah” yang menulis “Buk Sakawayana” pada tahun 1841 Masehi
Ketiga Raden Kasjan. Dikenal dengan sebutan Bapa Olot, ia menurunkan anak cucu di Dusun Serang dan Dusun/Desa Narimbang kecamatan Conggeang Sumedang.
3. Santowan Pergong Jaya (di Nangtung Sumedang) menikah dengan Apun Ayu Ajeng Larasati melahirkan keturunan di Tasik Malaya dan Ciamis.
4. Santowan Jagabaya (di Nangtung Sumedang), menikah dengan Apun Ayu Ajeng Alisah, berputra 4 orang yaitu : Embah Bage (di Panjalu), Raden Singa Nurun atau Singa Kerta (melahirakan keturunan di Nangtung Sumedang), Raden Nayamanggala atau Nayapenggala dan Nyai Raden Apun Pananjung (menikah dengan Susuhunan Amangkurat, berputra Raden Doberes). Anapon Raden Nayamanggala menikah dengan Nyai Tanduran Saka, berputra 2 orang, yaitu : Raden Inayapatra dan NYai Mas Unggeng. Raden Inayapatra menikah dengan Embah Putri (asal Bogor), secara turun temurun berputra Raden Arjawayang (Antareja), berputra Raden Aris Surakarta, berputra Raden Kyai Lukman Candrawisuta, berputra Raden Kanduruan Cakrayuda, berputra Raden Bahinan (Camat Ciawi Bogor), berputra Raden Antahan (Camat Cimande Bogor), berputra Raden Entang, berputra Raden Muhtar, berputra Nyai Raden Mariah, berputra Nyai Raden Susi Lestari, yang melahirkan keturunan di Bogor. Sedangkan Nyai Mas Unggeng berputra Naya, yang menjadi “Jagasatru” di Sumedang.
5. Nyai Ayu Ratna Ayu (di Sumedang).
6. Nyai Jili atau Jilitahunyu (di Sumedang).
Barang-barang peninggalan Parabu Harismaung
Selain “Makuta Pajajaran“ Yang di serahkan oleh Prabu Harismaung (via putranya, Raden Aji Mantri) kepada Prabu Geusan Ulun selaku penguasa Sumedang Larang (sekarang masih ada di museum Prabu Geusan Ulung Sumedang), Raja Pajajaran Akhir itu juga mewariskan tidak kurang dari 150 rupa barang kepada Raden Aji MAntri selaku putranya. Sebelum Raden Aji Mantri meninggal, ia mewariskan pula semua barang-barangnya kepada ke enam orang putra-putrinya, diantaranya yang diwariskan kepada putra no.2, Santowan Sawana Buwana, yaitu berupa :
Munding Bulu Hiris, Kuda Bulu Landak, Kuda Ireng, Kalapa Sahulu (Satu butir kelapa yang disebut “Silalampah” Pusaka Ki Sakawayana (sebuah Naskah dari pelapah lontar) Pedang Sakawayana, Pedang Damar Murug, Baju KereLantenan, Sabatekan, Boweh Larang, Cupu Hejo Tujuh Lapis, Rupa-rupa Cincin, Salumpin Sarangka Bitis, Sarubang Sarangka Awak, Bedug Bende, Badawang Basog, Umbul-Umbul Kadut, Kacip Sinjang Batik.
Semua barang-barang tersebut (kecuali no.1 sampai 4) diurus dan di rawat secara turun temurun hingga sekarang, dan yang mendapat giliran untuk sekarang ini ialah Nandang Basyar (76 Tahun) dan Ucang Sumardi (66 tahun) keduanya merupakan keturunan generasi ke 13 dari Raden Aji Mantri atau Raden Keling Sakawayana, bertempat tinggal di Dusun/Desa Serang Kecamatan Cimalaka kabupaten Sumedang
Rujukan : Carita Parahiyangan (naskah abad ka 15 M), Amanat Galunggung (Drs Atja dan Drs.Saleh Danasasmita,1981), Pustaka Rajya2 I bhumi Nusantara (Drs Atja,1987).
Transkripsi & Tulisan Oleh :
Tutun Anwar Muh.Dahlan, S.Pd
Di Lembah Gunung Keling Kamis,18 juli 2011
Ditulis Oleh : Adi Mahardika, S.I.Kom
manawi aya aya jenganana ?
BalasHapusmanawi aya kalajengan nana?
BalasHapusTeu aya kalajengan na kang nu ieu mah
HapusKira2 kang, siapa yg dimaksud Raden Singa Jiwa
BalasHapus